waktu yang indah ku lalui bersamaMu
melukiskan kisah cinta didlam relung hati ..
muhammad sajid julianoor
melukiskan kisah cinta didlam relung hati ..
muhammad sajid julianoor
Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992) mendefinisikan globalisasi sebagai "the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole". Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level. Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya. Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita. Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita. Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut. Contoh Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan
1. Pendahuluan
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005) Globalisasi ditandai oleh ambivalensi – yaitu tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan” di sisi lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi “kepedihan” di pihak lainnya. Globalisasi pendidikan di Indonesia juga ditandai oleh ambivalensi yaitu berada pada kebingungan, karena ingin mengejar ketertinggalan untuk menyamai kualitas pendidikan Internasional, kenyataannya Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal kalau tidak ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal.
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Munculnya istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan tinggi bermula
dari WTO yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa
diperdagangkan atau diperjualbelikan. Tiga negara yang paling
mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah
Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds.,
2002, hh 104-105).
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pada pasal 28 B ayat (1)
mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya, demi kesejahteraan umat manusia” dan
pasal 31 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Konstitusi itu menunjukkan kalau rakyat mempunyai kedudukan yang sama
untuk dan di dalam memperoleh pendidikan yang tepat yang bisa
membebaskannya dari kebodohan atau bisa mengantarkannya menjadi
manusia-manusia berguna. Kata “setiap” dalam konstitusi tersebut artinya
setiap orang, tanpa membedakan gender, strata sosial, etnis, golongan,
agama dan status apapun berhak untuk memperoleh perlindungan di bidang
pendidikan. Hak pendidikan menjadi hak setiap warga negara, karena jika
hak ini berhasil diimplementasikan dengan baik, maka bangsa ini pun akan
memperoleh kemajuannya. Karena pendidikan merupakan pondasi kehidupan
bernegara. Pendidikan memiliki peran kunci dan strategis dalam memajukan
sebuah bangsa. Dari pendidikan sebuah bangsa bisa dibuat maju atau
mundur ke belakang.
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal di
Indonesia bermula dari TK selama dua tahun dilanjutkan Sekolah Dasar
hingga kelas enam. Lulusan sekolah dasar melanjut ke sekolah menengah
pertama selama tiga tahun dan sekolah menengah atas tiga tahun
berikutnya. Lulusan SMU dapat memilih untuk memperoleh gelar diploma
atau sarjana atau bentuk pendidikan tinggi lain.
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari tiga hal : • Masalah peningkatan mutu manusia dan masyarakat Indonesia • Kedua, menyangkut masalah globalisasi • Perkembangan dan kemajuan teknologi.
Pendidikan merupakan aspek penting dalam
era globalisasi. Tiga persoalan ini sangat berpengaruh dalam
perkembangan dunia pendidikan. Sebab peningkatan SDM, yang menjadi tugas
dan tanggung jawab utama pendidikan, sangat dipengaruhi faktor
globalisasi dan teknologi. Pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi dan
informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus diperhitungkan dalam
penyelenggaran pendidikan, apalagi tanggung jawab dunia pendidikan untuk
mencapai tujuan pokok melahirkan manusia yang berkualitas
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Pendidikan mulai diperhitungkan lebih serius sebagai tonggak utama
dalam pertumbuhan dan pembangunan dalam konsepsi knowledge economy,
terutama karena terjadinya pergeseran besar dari orientasi kerja otot
(muscles work) ke kerja mental (mental works). Dalam konsepsi ini,
peranan dan penguasaan informasi sedemikian vitalnya, sehingga kebutuhan
dalam proses pengumpulan, penyaringan, dan analisa informasi menjadi
sedemikian penting.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa
dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Teknologi berkembang sangat
pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum
pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi.
Padahal kurikulum di Indonesia itu sudah berulang kali dimodifikasi,
bahkan diubah-ubah. Bahkan sering ada anggapan bahwa setiap kali ganti
menteri tentu ganti kurikulum. Yang lebih membingungkan lagi, setiap
terjadi perubahan pendekatan atau teori selalu disertai dengan berbagai
jargon dan istilah-istilah baru. Dulu CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif),
kemudian link and match, kemudian KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
dan terakhir adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Berikutnya entah berbasis apa lagi. Ujungnya selalu saja ganti buku,
ganti cara membuat persiapan mengajar, ganti cara ulangan, ganti cara
tampil di kelas dan sebagainya. Bahkan, sering terjadi, kurikulum telah
dimodifikasi lagi ketika kurikulum lama belum sampai di sekolah.
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan –
Menurut Alex Maryunis Kurikulum itu terdiri dari: alat dasar; dokumen
tertulis; pelaksanaan dan hasil belajar. Yang sering digonta ganti dan
dimodifikasi atau diubah-ubah itu adalah pada dokumen tertulisnya. Gonta
ganti kurikulum memperlihatkan bagaimana pendidikan dibereskan dengan
metode tambal sulam.
2. Dampak Globalisasi dalam dunia Pendidikan
Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa asing, computer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi. Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya untuk mencari peserta didik.
Globalisasi seperti gelombang yang akan
menerjang, tidak ada kompromi, kalau kita tidak siap maka kita akan
diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak
berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan
dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan
bertaraf internasional dan desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian
sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih konvensional
banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung
tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa.
Implikasinya, muncullah : • Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global • Virtual School dan Virtual University Munculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan • Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh (distance learning), pendidikan maya (virtual education) yang diadakan oleh Perguruan Tinggi Asing ; contohnya United Kingdom Open University dan Michigan Virtual University. • Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain; contoh : yaitu hadirnya banyak para pemuda Indonesia menuntut ilmu membeli jasa pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan ternama yang ada di luar negeri. • Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya dengan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri bekerja sama dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia (tidak gratis tentunya). • Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut.
Persaingan untuk menciptakan negara yang
kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran
raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara
kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang
tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang
dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya
peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi
masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih
banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam
hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik
tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini
menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh
semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program
kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air
diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat
dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju
semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan
dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat
menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas
menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat
golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar
menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu
kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan
kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial
dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan
tidak diredam.
Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan ketidaksiapan
guru yang berkompeten dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut
merupakan perpaduan yang klop untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap
pula berkompetisi di era globalisasi ini alias lulusan yang kurang
berkualitas. Seperti yang dilansir KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009
menyebutkan bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan
siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan
ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional yang sebesar 500.
Jika dibandingkan dengan siswa internasional, siswa Indonesia hanya
mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sedikit sekali, bahkan
hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang menuntut pemikiran
tingkat tinggi. hasil tiga studi tersebut mengemuka dalam seminar Mutu
Pendidikan dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik 2009 di Gedung
Depdiknas, Jakarta, Rabu (28/10). Masih dalam Kompas.com tanggal 28
Oktober 2009 menyebutkan salah satu penelitian yang mengungkap lemahnya
kemampuan siswa, dalam hal ini siswa kelas IV SD/MI, adalah penelitian
Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi
internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yg
disponsori oleh The International Association for the Evaluation
Achievement. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia
berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Demikian
hasil studi tersebut dipaparkan dalam laporan penelitian “Studi
Penilaian Kemampuan Guru Melalui Video dengan Memanfaatkan Data PIRLS”
oleh Prof Dr Suhardjono dari Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di
Jakarta, Rabu (28/10). Dalam laporan tersebut, Suhardjono menuturkan,
muara dari lemahnya pembelajaran membaca patut diduga karena kemampuan
guru dan kondisi sekolah.
Dalam lansiran lain di Kompas.com
tanggal 19 Juni 2009 Ir Hafilia R. Ismanto MM., Direktur Bidang Akademik
LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru belum
berhasil untuk dijadikan role model sebagai pengguna Bahasa Inggris yang
baik, penyebab hal tersebut karena selama ini pihak sekolah dan guru
belum melakukan pendekatan integrasi antara content atau mata pelajaran
dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa diberdayakan
untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru itu memang
benar-benar siap.
Pendidikan di Indonesia sekarang membuat
rakyat biasa sangat menderita. Pendidikan menjadi sesuatu yang tak
terjangkau rakyat kecil. Tidak ada penggolongan orang miskin dan orang
kaya. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan
dikomersialkan.
Kebijakan yang mahal ini memang sangat
merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah
untuk memperbaiki status kelasnya. Melalui sistem ini, maka yang bisa
diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki modal
yang cukup. Sekolah kian menjadi lembaga elite dan bahkan menjadi
kekuatan yang menghadang arus mobilitas vertikal kelas sosial bawah.
Dalam beberapa aktivitasnya bahkan sekolah ikut terlibat melegitimasi
tatanan yang timpang. Jika diusut penyebab ini semua, tentu jawabannya
adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme berangkat dari
keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan kekuasaan negara.
Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan pada
mekanisme pasar. Biarlah pasar yang akan menyeleksi mana sekolah yang
patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di situ pendidikan
berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberi pelayanan hanya
pada mereka yang kuat membayar.
Implikasinya, jutaan rakyat Indonesia
belum memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan tidak sedikit pula yang
masih berkategori masyarakat buta huruf. Mereka belum bisa menikmati
dunia pendidikan seperti anggota masyarakat yang mampu “membeli” dan
menikmati pendidikan. Masyarakat demikian mencerminkan suatu kesenjangan
yang serius karena di satu sisi ada sebagian yang bisa membeli politik
komoditi pendidikan secara mahal. Sementara tidak sedikit anggota
masyarakat yang tidak cukup punya kemampuan ekonomi untuk bisa
membebaskan diri dari buta huruf akibat dunia pendidikan yang tidak
berpihak secara manusiawi kepada dirinya. Biaya pendidikan yang melangit
ini terjadi di dunia pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan
tinggi.
Tidak hanya itu implikasi dari makin
mahalnya biaya pendidikan. Kualitas mahasiswa yang masuk perguruan
tinggi pun nantinya patut dipertanyakan karena bukan tidak mungkin uang
yang akan berbicara. Siapa yang lebih banyak dia yang akan menang. Bisa
jadi mereka yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan bisa mengenyam
pendidikan di jurusan dan universitas favorit karena dia bisa membayar
biaya yang cukup tinggi. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan
lebih tidak bisa menyandang gelar mahasiswa lantaran tidak memiliki
kemampuan finansial.
Realitas menunjukkan, krisis yang
menimpa dunia pendidikan di Indonesia, khususnya kualitas pendidikan
yang rendah, merupakan persoalan yang sangat kompleks. Prasarana,
sarana, dan fasilitas kurang memadai, anggaran pendidikan nasional yang
sangat minim, dan banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan
keahlian atau memang belum layak disebut guru merupakan faktor yang ikut
menyulitkan pengembangan kualitas pendidikan.
Selain itu telah muncul banyak
pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia
Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu lulusan yang dihasilkan
oleh sistem pendidikan. Padahal, anggaran negara yang dialokasikan untuk
pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sungguh ironis
memang, anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusan tetap rendah dan
justru dirasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi, padahal
kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah berapa
macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru. Akankah keadaan ini
dibiarkan terus berlanjut? Jika tak menghasilkan lulusan yang
berkualitas dan dapat diandalkan, dapatkah pendidikan itu disebut sebuah
investasi untuk masa depan?
Namun seringkali masyarakat hanya dibuai
oleh janji-janji anggaran atau kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya
mimpi masyarakat ini sulit terkabul dengan alas an-alasan yang politis.
Pejabat belum sungguh-sungguh menempatkan dunia pendidikan ini sebagai
penyangga kemajuan bangsa. Kenyataannya memang demikian. Subsidi
pemerintah pemerintah perlahan menyurut hingga tak lagi dapat mencukupi
kebutuhan universitas. Namun di balik itu semua ada hal yang terlewatkan
oleh para pimpinan universitas sebagai makin mahalnya biaya pendidikan.
Yakni, kaum miskin hanya bisa gigit jari karena tidak dapat meneruskan
ke jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu banyak
penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh
dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang
penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana
rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana
operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri,
Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi
Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta,
Rabu (9/9). Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya
terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara
mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com tanggal 9 September 2009).
Padahal tujuan utama dari pengucuran
dana pendidikan tersebut seperti dana BOS adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya siswa Indonesia
memiliki daya saing di tingkat internasional. Namun apa yang terjadi
selain penyelewengan seperti yang disebutkan di atas, terjadi penggunaan
dana BOS yang belum tepat seperti yang dimuat Kompas.com tanggal 28
Oktober 2009 yang merupakan hasil penelitian bidang pendidikan berkerja
sama dengan Pusat Penelitian Depdiknas yang dibahas dalam seminar
bertajuk Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipaparkan oleh Bahar
Sinring, Dekan Fakultas Muslim Indonesia Makassar menyebutkan bahwa Dari
penggunaan dana BOS di tiap provinsi terlihat bahwa pemanfaatan untuk
gaji guru atau tenaga administrasi honorer mengambil porsi yang cukup
besar sekitar 20-40 persen. Akibatnya, dana BOS yang dapat dinikmati
siswa, termasuk untuk membantu siswa miskin, berkurang. Berdasarkan
audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari sepuluh sekolah
menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata
penyimpangan itu senilai Rp 13,7 juta.
Menurut Ade (dalam Kompas.com 9
September 2009 kebocoran anggaran ataupun dalam bentuk paling parah
seperti korupsi pendidikan, ini menyebabkan berkurangnya anggaran dan
dana pendidikan, merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban
biaya yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan
pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah
membahayakan nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah.
3. Kaitan Globalisasi Pendidikan dengan dunia Perpustakaan
Keberadaan Perpustakaan tidak bisa dipisahkan dengan dunia pendidikan, Karena perpustakaan merupakan lembaga yang mampu menunjang proses pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pada gilirannya dalam rangka membangun kehidupan masa depan yang maju dan sejahtera.
Oleh karena itulah sesuai dengan
perkembangan zaman terutama di era globalisasi ini perpustakaan harus
terus berbenah diri dan meningkatkan kualitas layanan. Bahkan di
perguruan tinggi perpustakaan sudah menjadi tolok ukur kualitas lulusan
yang dihasilkan seperti yang dipaparkan oleh Hermawan dan Zen (2006)
“Pentingnya perpustakaan perguruan tinggi telah menjadi salah satu
indikator mutu pendidikan di perguruan tinggi. Makin baik
perpustakaannya maka makin baik pula mutu luaran perguruan tinggi
tersebut”.
Dampak positif globalisasi pendidikan
terhadap perpustakaan dapat dilihat dari meningkatnya kualitas layanan
yang ada di perpustakaan, misalnya dengan diadakannya layanan-layanan
yang sifatnya mengglobal seperti internet, fasilitas wi-fi. Selain itu
koleksi-koleksi perpustakaan juga mulai bervariasi dan disesuaikan
dengan internasionalisasi lembaga pendidikan yang menaunginya, seperti
jumlah dan kualitas koleksi buku berbahasa Inggris semakin diperbanyak
dan dilanggannya jurnal-jurnal yang standar internasional.
Penyelenggaraan yang standar internasional ini tentunya membutuhkan
biaya yang tidak murah, karena sudah diketahui oleh umum bahwa harga
buku –buku berbahasa Inggris harganya lebih mahal dibanding buku
berbahasa Indonesia, dan untuk melanggan satu jurnal internasional juga
harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Karena biaya yang tinggi tersebutlah,
yang mampu menyelenggarakan perpustakaan dengan layanan dan kualitas
yang baik tentunya perpustkaaan yang berada di lembaga pendidikan yang
punya modal dan pimpinan yang perhatian terhadap perkembangan dan
pentingnya perpustakaan. Karena banyak lembaga pendidikan yang punya
modal besar perpustakaannya kurang maju Karena pimpinannya yang tidak
terlalu perhatian terhadap perpustakaan. Hal yang lebih parah lagi
tentunya dialami oleh perpustakaan yang berada di lembaga-lembaga
pendidikan yang modalnya kecil. Jangankan untuk meningkatkan layanan dan
koleksi yang bersifat internasional, untuk merawat koleksi yang ada pun
kadang masih terseok-seok. Sehingga dengan adanya globalisasi ini
perpustakaan tersebut semakin tertinggal.
Namun untuk perpustakaan yang sudah bisa
mengadakan dan menyesuaikan layanan dan koleksinya dengan standar
internasional pun bukan berarti tanpa masalah. Banyak terjadi
perpustakaan sudah banyak mengeluarkan biaya untuk menambah jumlah
koleksi dan melanggan jurnal internasional dengan harga mahal, namun
tingkat pemakaian dari penggunanya masih sangat rendah dibanding
penggunaan koleksi atau jurnal-jurnal yang berbahasa Indonesia. Ini
artinya pengguna perpustakaan masih banyak yang belum siap dengan
standar internasional.
Untuk menjawab perkembangan di dunia
pendidikan ini maka mulai dari sekarang perpustakaan dan pustakawan
harus mau dan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Pustakawan
diharapkan mampu mengubah dan mengembangkan dirinya seiring dengan
tuntutan perubahan. Pengembangan yang dimaksud adalah:
*. memahami peranannya atas dasar pola kemitraan bukan melayani *. memberikan makna/kontribusi bagi lembaganya (dalam hal ini sekolah atau perguruan tinggi) tidak sekedar fokus pada disiplin ilmu perpustakaan *. integrasi *. mampu mentransfer kemampuannya melalui pelatihan dan pembinaan, sehingga penggunanya dapat memanfaatkan layanan-layanan yang ada di perpustakaan secara optimal. *. Inovasi
4. Solusi
Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, dapat bergerak cepat menemukan dan memperbaiki celah – celah yang dapat menyulut kesenjangan dalam dunia pendidikan. Salah satunya dengan cara menjadikan pendidikan di Indonesia semakin murah atau bahkan gratis tapi bukan pendidikan yang murahan tanpa kualitas. Hal ini memang sudah dimulai di beberapa daerah di Indonesia yang menyediakan sekolah unggulan berkualitas yang bebas biaya. Namun hal tersebut baru berupa kebijakan regional di daerah tertentu. Alangkah baiknya jika pemerintah pusat menerapkan kebijakan tersebut dalam skala nasional . Untuk dapat mewujudkan hal tersebut pemerintah perlu melakukan pembenahan terutama dalam bidang birokrasi. Korupsi mesti segera diberantas, karena korupsi merupakan salah satu yang menghancurkan bangsa ini.
Ide Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) Moh. Nuh yang mengingatkan, bahwa dalam dunia pendidikan tak
boleh ada sikap diskriminatif yang disebabkan adanya perbedaan kaya
dengan miskin akibat faktor wilayah kota dan desa sehingga seseorang
kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan. (Kompas.com tanggal 3
November 2009) Perlu diimplentasikan dan dilaksanakan dengan segera,
agar hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak
dapat segera terwujud, dan dapat mendorong lembaga pendidikan untuk
mempertimbangkan kurikulum maupun metodologi yang tidak banyak
mengeluarkan biaya.
Permisi…. Lewat ngoceh sebentar ya….
Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan
– Welcome to my Personal Blog by isomwebs There are many topics about
Indonesia like indonesia tourism, tourist attractions, art dan culture
of indonesia, cheap hotels, indonesian news and entertainment, top
celebrities, automotive, education, healthy, etc. All topics on here
such as Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan just for personal notes by blog author and this topic is about Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan
to get any more information for this related topics of HP dual sim card you can do a search in the category at contoh surat, This topic is about Aplikasi BBM untuk Android,MAKALAH PENYAKIT MENULAR ,Jenis Konfigurasi Routing, Makalah Globalisasi, Dampak Globalisasi di bidang Pendidikan by isomwebs.comLanjjjuuuuuutttt,,,,,
Selain itu membuat standar baru tentang
kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan kreativitas
siswa melainkan juga ongkos sekolah. Kriteria yang mempersyaratkan
kemampuan menampung siswa tidak mampu sekaligus kemampuan untuk
mensejahterakan guru. Sekolah tidak lagi diukur dari kemampuannya
mencetak siswa yang pintar melainkan bagaimana mengajarkan siswa untuk
saling bertanggung jawab dan mempunyai solidaritas tinggi. Standar
internasional tentang kemampuan intelektual tidak akan bisa diraih
dengan kondisi struktural yang masih mengalami persoalan ketimpangan dan
kesenjangan sosial.
Selain itu solusi-solusi lain yang dapat dilaksanakan adalah
• Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Asing lainnya • Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi • Peningkatan Mutu Manajemen sekolah dan Manajemen pelayanan pendidikan • Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana • Penanaman nilai-nilai keteladanan • Pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan • Penelitian dan pengembangan pendidikan
5. Kesimpulan
• Globalisasi pendidikan di Indonesia ditandai dengan ambivalensi yang apabila kita mengikuti arus globalisasi tersebut dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia setingkat dengan kualitas pendidikan Internasional, tetapi pada kenyataannya Indonesia belum siap untuk mengikuti arus tersebut sehingga kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal. • Adanya kompetisi/persaingan didalam dunia pendidikan karena kemajuan teknologi dan informasi. Bahkan sering terjadi kompetisi yang liar yang disebabkan oleh 1. Adanya aturan tidak beres pada birokrasi pendidikan 2. Intervensi kepentingan modal raksasa 3. Sekolah kurang mendapat perhatian yang layak dari pemerintah • Bagi instansi pendidikan yang mampu bersaing akan memperoleh hasil yang baik dan diakui oleh dunia luar. Bagi instansi yang belum siap bersaing akan mengalami tekanan dan banyak yang berjalan ditempat saja • Globalisasi pendidikan juga membawa dampak adanya kesenjangan sosial didalam dunia pendidikan, karena hanya orang-orang yang mempunyai modal lebih besar saja yang dapat menikmati kualitas pendidikan dengan standar internasional. • Merosotnya kualitas pendidikan tak bisa dipisahkan dari kebijakan negara pada sector pendidikan.Menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan jelas merupakan keputusan yang keliru. Liberalisasi pendidikan pada hakekatnya telah memasung akses siswa yang tidak mampu untuk menikmati sekolah. Padahal sejak bangsa ini ditimpa krisis jumlah masyarakat yang berada di garis kemiskinan makin membumbung. • Perlu adanya perombakan pada kebijakan yang menyangkut masalah pendidikan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kaum miskin. Komersialisasi pendidikan mutlak harus dihentikan karena hanya memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. - pendapat saya : dalam suatu proses globalisasi tidak terlepas dari suatu perubahan, maka dari itu kita harus bisa mengerti dengan keadaan Era globalisasi sekarang ini ,,
|